Selasa, 06 Januari 2015

PENGGUNAAN GAYA BAHASA SARKASME DALAM PERGAULAN REMAJA - RD. M. ALFYSA DWIKATAMA (1405492)

PENGGUNAAN GAYA BAHASA SARKASME DALAM PERGAULAN REMAJA
Oleh: Rd. M. Alfysa Dwikatama (1405429)
Mahasiswa Prodi Bahasa dan Sastra Inggris – FPBS UPI
Abstrak
            Bahasa merupakan harta karun terkaya yang dimiliki oleh peradaban manusia, karena kajian bahasa sangat luas, tak terbatas, serta akan selalu berkembang dari generasi ke generasi berikutnya. Salah satu pemanfaatan kekayaan bahasa tersebut adalah majas atau gaya bahasa. Majas berprinsip pada pemakaian ragam tertentu untuk memperoleh efek-efek tertentu serta merupakan keseluruhan ciri bahasa sekelompok penulis sastra dan cara khas dalam menyampaikan pikiran serta perasaan, baik secara lisan maupun tulisan.
            Sarkasme adalah salah satu permata gaya bahasa yang secara umum telah dikenal oleh masyarakat. Terdapat beragam pemahaman mengenai sarkasme, namun pada hakikatnya, sarkasme adalah majas yang dimaksudkan untuk menyindir atau menyinggung seseorang atau sesuatu. Sebagai salah satu dari sekian banyak konsumen sarkasme, remaja melekat utuh dengan sarkasme dalam pergaulannya. Penyebabnya adalah sifat remaja (sebagai transisi dari anak-anak menuju dewasa) yang masih labil dan mudah terpengaruh, identik dengan sifat sarkasme sebagai suatu unsur bahasa yang tidak pernah berhenti berkembang. Oleh karena itu, sarkasme dan pergaulan remaja dapat mempengaruhi perkembangan masing-masing secara berimbang.
Kata Kunci: gaya bahasa, sarkasme, pergaulan remaja  
A, Pendahuluan
            Bahasa adalah kapasitas khusus yang ada pada manusia untuk memperoleh dan menggunakan sistem komunikasi yang kompleks, dan sebuah bahasa adalah contoh spesifik dari sistem tersebut. Seiring perubahan zaman, bahasa telah berkembang menjadi suatu kekayaan yang mahaluas. Kekayaan bahasa tersebut menjadi lebih luas lagi karena dalam penerapannya, bahasa tidak hanya menjadi sarana komunikasi manusia saja. Bahasa telah membawa pergeseran arus yang dinamis dalam segala aspek kehidupan manusia, dimulai dari aspek kebudayaan hingga hal-hal yang jauh lebih kompleks, seperti politik dan sains.
             Perkembangan bahasa telah melahirkan berbagai cabang pemanfaatan bahasa; salah satunya adalah gaya bahasa atau majas. Majas berprinsip pada pemakaian ragam tertentu untuk memperoleh efek-efek tertentu serta merupakan keseluruhan ciri bahasa sekelompok penulis sastra dan cara khas dalam menyampaikan pikiran serta perasaan, baik secara lisan maupun tulisan. Majas merupakan karakter unik dari suatu bahasa, karena ia dapat membangun serta mengembangkan imajinasi yang melebihi makna sesungguhnya suatu kata dengan cara membandingkan, mempertautkan, mempertentangkan dan bahkan mengulang kata tersebut.
            Sarkasme adalah salah satu permata gaya bahasa yang secara umum telah dikenal oleh masyarakat. Gaya bahasa menyindir, baik secara eksplisit maupun implisit, secara lisan maupun tulisan, telah menjadi bagian manusia dalam kehidupan sosialnya. Remaja, sebagai individu yang labil, berbagi banyak kesamaan sifat dengan gaya bahasa sarkasme, sehingga pada umumnya, remaja sering kali menggunakan gaya bahasa sarkasme dalam pergaulan sehari-harinya. Ketersinambungan antara penggunaan gaya bahasa sarkasme dan pergaulan remaja ini akan menciptakan banyak pemahaman baru mengenai gaya bahasa sebagai bagian dari kekayaan bahasa yang mahaluas.
B. Kajian Pustaka
1. Gaya Bahasa Sarkasme
            Sarkasme, menurut istilah Kamus Besar Bahasa Indonesia, adalah (penggunaan) kata-kata pedas untuk menyakiti hati orang lain; cemoohan atau ejekan kasar. Sebenarnya, ada bermacam-macam pemahaman mengenai sarkasme ini di berbagai belahan dunia. Di ranah kesusasteraan Indonesia sendiri, sarkasme merupakan suatu bentuk umpatan yang cara mengekspresikannya adalah dengan rasa marah atau kesal. Contoh: Kau memang benar-benar bajingan. Namun di berbagai belahan dunia lain, seperti dalam kesusasteraan Inggris, sarkasme atau sarcasm dimaksudkan untuk menyindir atau menyinggung secara implisit tanpa menggunakan kata kasar. Contoh: Kamu terlalu pintar ya? Soal semudah ini tidak bisa. Di Indonesia, pemahaman sarcasm ini memiliki makna yang sama dengan majas sinisme. Oleh karena itu, secara umum sarkasme merupakan majas pertentangan yang maknanya paling luas, karena dapat mencakup pemahaman mengenai gaya bahasa sinisme maupun ironi.
             
            Kurnia (2011) dalam laman pribadinya, mengemukakan bahwa sarkasme telah tumbuh sedari dulu dan mempunyai sejarah yang amat panjang. Ketika manusia mulai fasih menggunakan bahasa dan menjadikannya sebuah media artistik, maka gaya mengumpat dan menyindir ikut hadir dan menjadi seni tersendiri dalam suatu bahasa. Sarkasme telah berkembang dari Romawi Kuno hingga menjalar cepat ke kebudayaan Inggris dan ke seluruh dunia. Bangsa Asia termasuk salah satu bangsa yang terlambat dalam mengenal sarkasme, karena pada awalnya mereka menganggap sarkasme sebagai sesuatu yang tabu dan tidak sesuai dengan kultur serta kebudayaan mereka.
            Kehidupan manusia yang semakin maju telah menjadikan penggunaan gaya bahasa sarkasme tidak serta merta bertujuan untuk menghina saja. Sarkasme telah diaplikasikan ke dalam kehidupan sehari-hari sebagai suatu estetika penulisan, bentuk nasihat, bentuk pembelajaran, hingga candaan sehari-hari. Hal ini menyebabkan sarkasme telah berkembang menjadi suatu budaya yang melekat pada kehidupan manusia. Sebagai suatu budaya, sarkasme tidak hanya melahirkan kelebihan saja, melainkan kekurangan pula. Di samping kelebihan gaya bahasa sarkasme yang berestetika, banyak orang berpendapat bahwa secara etika, sarkasme adalah hal yang paling harus dihindari dalam berkomunikasi. Ketika seorang manusia berkomunikasi dengan manusia lainnya dengan gaya bahasa sarkasme, akan ada yang menjadi subjek pelaku dan yang menjadi objek penderita. Di satu sisi, subjek pelaku akan merasakan nilai estetika dan kepuasan dari penggunaan sarkasme. Di sisi lain, objek penderita akan menilai betapa rendahnya nilai etika dari penggunaan sarkasme.
            Namun, itulah yang menjadikan sarkasme sebagai suatu gaya bahasa yang paling kaya dan dapat berpengaruh pada segala aspek kehidupan manusia.
2. Remaja dan Pergaulannya
            Remaja berasal dari kata latin adolensence yang berarti tumbuh atau tumbuh menjadi dewasa. Istilah adolensence mempunyai arti yang lebih luas lagi yang mencakup kematangan mental, emosional, sosial, dan fisik. Masa ini kerap dikenal sebagai masa abu-abu karena posisi seorang remaja tidak dapat didefinisikan sebagai anak-anak maupun sebagai dewasa. Masa remaja merupakan masa transisi atau peralihan dari anak-anak menuju kedewasaan yang berkisar pada usia 12 hingga 21 tahun.
            Periode transisi ini membuat sikap dan konsistensi seorang remaja cenderung berubah-ubah atau lebih dikenal dengan istilah labil. Selain itu, ciri khas perkembangan remaja lainnya adalah: mengalami perubahan fisik (pertumbuhan), mengarahkan perhatian pada teman sebaya dan berangsur melepaskan diri dari keterikatan keluarga, keterkaitan yang kuat dengan lawan jenis, periode idealis, menunjukkan kemampuan diri, dan utamanya pencarian jati diri.
            Ciri khas perkembangan remaja tersebut akan tertuang nyata dalam pergaulan sehari-harinya. Di dalam pergaulannya, seorang remaja bertransformasi menjadi manusia paling dinamis yang sikapnya akan bergantung pada dirinya, lingkungannya, sahabatnya hingga hal-hal yang bahkan tidak terkait dengan dirinya. Oleh karena itu, sebagai bentuk proses pencarian jati diri, pergaulan remaja adalah sampel yang paling menarik untuk diteliti dalam meneliti aspek kebahasaan. 
3. Penggunaan Gaya Bahasa Sarkasme dalam Pergaulan Remaja
            Sebagai salah satu dari sekian banyak konsumen sarkasme, remaja melekat utuh dengan sarkasme dalam pergaulannya. Penyebabnya adalah sifat remaja (sebagai transisi dari anak-anak menuju dewasa) yang masih labil dan mudah terpengaruh, identik dengan sifat sarkasme sebagai suatu unsur bahasa yang tidak pernah berhenti berkembang.
            Berikut merupakan beberapa bentuk penggunaan sarkasme paling umum dalam pergaulan remaja:
-          Sarkasme secara eksplisit: Dasar kau anjing! Dasar kau babi! Dasar kau tidak berguna, begitu saja tidak bisa! Menyebalkan sekali kau bajingan! Aku benci kau bangsat! Dasar kau goblok! Tidak punya otak!     

-          Sarkasme secara implisit: Pintar sekali kau (hingga gagal dalam ujian)! Cantik sekali kau (hingga tidak pernah punya kekasih)! Langsing sekali kau (hingga bajumu tidak ada yang cukup)! Kita adalah teman sekelas yang kompak (padahal tidak)! Aku sayang kamu (dan dia juga)!
            Dari beberapa bentuk penggunaan sarkasme paling umum dalam pergaulan remaja, dapat dibuktikan mengapa pergaulan remaja begitu melekat utuh dengan gaya bahasa sarkasme. Sifat remaja yang labil (transisi dari anak-anak menuju dewasa) membuat seorang remaja cenderung bersifat emosional. Ia akan mengutamakan emosi dalam segala aspek kehidupannya. Dan ketika emosinya tersulut, seorang remaja akan sulit mengontrol emosinya sehingga ia akan melampiaskan emosi tersebut dengan menggunakan sarkasme secara eksplisit kepada siapapun yang menyulut emosinya. Sifat remaja yang emosional ini juga turut mendorong seorang remaja cenderung menutupi kejujuran alias berbohong. Ketika dalam pergaulannya ia mendapati sesuatu atau seseorang yang ia tidak sukai, seorang remaja lebih gemar menutupi kebohongannya dengan menyampaikan pujian kepada sesuatu atau seseorang yang ia tidak sukai. Seorang remaja akan menggunakan sarkasme secara implisit baik dengan bertujuan untuk menghina secara sinis, ataupun karena ia takut dan tidak sanggup menghadapi situasi dengan kejujuran.   
4. Penutup
            Masa remaja merupakan masa yang paling menentukan dalam kehidupan manusia, karena masa ini akan menjadi batu loncatan menuju masa depan seorang manusia. Pada masa ini, manusia akan dengan cepat berkembang dan menentukan arah hidupnya. Selain itu, manusia juga bersifat labil serta rentan terpengaruh oleh berbagai hal pada masa remaja.
            Di sisi lain, bahasa juga merupakan sesuatu yang tidak akan pernah berhenti berkembang. Suatu bahasa juga akan dengan mudahnya terpengaruh oleh perkembangan zaman dan lingkungan. Bahasa akan terus berkembang ke arah yang lebih baik, sesuai dengan arahan penggunanya. Khususnya dalam hal ini, penggunaan gaya bahasa sarkasme.
            Penggunaan gaya bahasa sarkasme dalam pergaulan remaja menjadi bukti bahwa gaya bahasa sarkasme dan pergaulan remaja memiliki kesamaan sifat dan mempunyai pengaruh terhadap masing-masing. Di satu sisi, sarkasme dapat mempengaruhi dan mengubah sikap serta jati diri seorang remaja. Di sisi lainnya, seorang remaja dapat mempengaruhi citra gaya bahasa sarkasme; tergantung bagaimana cara ia mengaplikasikan sarkasme dalam pergaulan sehari-harinya.
Daftar Pustaka
Aziz, Firman. dkk. (2014). Taktis Berbahasa Indonesia di Perguruan Tinggi. Bandung: Penerbit Asas UPI.
Haryanto. “Pengertian Remaja”. [Online] Tersedia: http://belajarpsikologi.com/pengertian-remaja/. [5 Januari 2015]
Hermawan, Novaldi. “Sarkasme: Antara Etika dan Estetika”. [Online]. Tersedia: http://novaldiherman.wordpress.com/2014/10/23/sarkasme-antara-etika-dan-estetika/. [5 Januari 2015].

Ismail. (2012). Ironi dan Sarkasme Bahasa Politik Media. Surabaya: Pustaka Pelajar.
Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Keempat, 2008, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Kartawijaya, Faris. “Pengertian Lengkap Sarkasme (Sarcasm)”. [Online]. Tersedia: http://farisnoteindo.blogspot.com/2014/04/pengertian-lengkap-sarkasme-sarcasm.html. [5 Januari 2015].
Kurnia, Kafi (2011). “Sindiran – Sentilan dan Sarkasme”. [Online]. Tersedia: http://biangpenasaran.blogspot.com/2011/08/sindiran-sentilan-dan-sarkasme.html [5 Januari 2015]
Prasetyono, Dwi Sunar. (2011). Buku Majas Lengkap dan 3000 Pribahasa. Jakarta: Diva.
Sabina, Rosablog. “Ciri Khas Perkembangan Remaja”. [Online]. Tersedia: http://rosablogsabina.blogspot.com/2011/06/ciri-khas-perkembangan-remaja.html. [5 Januari 2015]
Sarwono, Sarlito W. (2012). Psikologi Remaja. Jakarta: Rajawali Pers Raja Grafindo Persada.
Anonim. “Bahasa”. [Online]. Tersedia: http://id.wikipedia.org/wiki/Bahasa. [5 Januari 2015].
Anonim. “Majas”. [Online]. Tersedia: http://id.wikipedia.org/wiki/Majas. [5 Januari 2015].
Anonim. “Sarkasme”. [Online]. Tersedia: http://id.wikipedia.org/wiki/Sarkasme. [5 Januari 2015].

PERBANDINGAN BAHASA GAUL DI KALANGAN REMAJA PADA TAHUN 2001 SAMPAI DENGAN TAHUN2014 - BAGUS ANDRIANSYAH RAMADHAN (1406422)

PERBANDINGAN BAHASA GAUL DI KALANGAN REMAJA PADA TAHUN 2001 SAMPAI DENGAN TAHUN 2014
Bagus Andriansyah Ramadan (1406422)
Bahasa dan Sastra Inggris Fakultas Bahasa dan Sastra Universitas Pendidikan Indonesia

Abstrak
Bahasa Gaul atau yang dikenal juga sebagai Bahasa Prokem dan Bahasa Slang, adalah bahasa Indonesia nonstandar yang awalnya muncul di Betawi tahun 1970-an. Awalnya bahasa ini digunakan di antara para prokem (preman), sehingga disebut bahasa prokem. Bahasa ini tidak memperhatikan tata bahasa, dan sangat ekspresif.

Sekitar tahun 2001, bahasa ini banyak dikembangkan. Banyak kelompok-kelompok tertentu yang mengembangkan bahasa ini dan menciptakan beberapa bahasa baru agar orang lain tidak mengerti apa yang kelompoknya bicarakan. Sampai muncullah Kamus Bahasa Gaul karangan Debby Sahertian yang akhirnya menyosialisasikan bahasa gaul khusus kepada masyarakat umum.

Kata kunci: Bahasa gaul, digunakan

Pendahuluan
Bahasa gaul sebenarnya agak tidak disenangi oleh beberapa kalangan, karena bahasa tersebut dianggap merusak dan mengancam eksistensi bahasa baku Indonesia sendiri. Namun pada kenyataannya, banyak bahasa gaul yang dikaji ulang oleh para ahli bahasa di Indonesia sehingga akhirnya menjadi bahasa resmi di Indonesia. Sebagai contoh adalah kata “jomblo” yang mengartikan seseorang yang belum mempunyai pasangan.

Bahasa gaul memang berawal dari bahasa Betawi, namun seiring perkembangannya banyak juga bahasa-bahasa daerah lain dan bahkan bahasa asing yang turut mempengaruhi. Sebagai contoh dari bahasa Sunda diserap kata “garing” yang artinya tidak lucu, “gandeng” yang artinya berisik dan “balik” yang artinya pulang. Contoh dari bahasa asing adalah berupa singkatan-singkatan seperti “LOL (Laughing Out Loud)” yang mengekspresikan tertawa terbahak-bahak akan suatu hal dan “KEPO (Knowing Every Particular Object)” yang menggambarkan seseorang yang ingin tahu secara detil akan suatu hal.

Di tahun 2001, banyak kelompok yang mengembangkan bahasa-bahasa gaul ini dan kemudian menciptakan bahasa baru. Hal ini sengaja dilakukan agar orang lain tidak mengerti apa-apa yang mereka bicarakan, agar mereka dapat dengan bebas membicarakan hal yang bersifat sensitif. Tentunya hal ini sangat berbeda dengan fungsinya pada saat ini. Saat ini bahasa gaul lebih digunakan sebagai bahasa percakapan sehari-hari di kalangan remaja. Mungkin sedikit merusak, namun hal ini sebenarnya mempermudah mereka para remaja dalam berkomunikasi, mengingat betapa ekspresifnya bahasa gaul itu.

Berdasarkan paparan di atas, maka masalah yang akan dibahas difokuskan dalam penggunaan bahasa gaul tahun 2001 sampai tahun 2014 di kalangan remaja saja. Adapun masalah yang akan dibahas adalah berupa perbandingan penggunaan bahasa gaul di tahun 2001 sampai dengan tahun 2014.

Metode yang saya gunakan untuk meneliti hal ini adalah metode deskripsi berdasarkan realita yang terjadi di sekitar saya.Karena bahasa adalah sesuatu yang nyata yang terjadi di antara masyarakat sekitar kita.

Manfaat yang diharapkan adalah semoga para remaja dapat mengetahui asal-usul bahasa gaul sehingga tidak asal menggunakannya saja. Dan juga diharapkan dapat dengan lebih bijaksana menggunakannya, mengingat keberadaan bahasa gaul memang sedikit mengancam bahasa baku Indonesia.

Pembahasan
Seperti yang saya paparkan di atas, bahasa gaul atau bahasa slang pada tahun 2001 lebih digunakan di kelompok tertentu saja. Hal ini disebabkan karena kelompok-kelompok tersebutlah yang mengembangkan bahasa gaul dan kemudian menciptakan kata-kata baru yang tidak dimengerti orang lain. Hal ini bertujuan agar mereka dapat dengan bebas mengobrol sesuatu yang sensitif atau mengarah kepada rahasia.

Hal ini dapat terlihat dari beberapa sinetron yang menggambarkan kehidupan remaja pada zaman tersebut. Terutama pada sinetron yang dibintangi oleh salah satu pelopor bahasa gaul di Indonesia, Debby Sahertian. Di beberapa sinetronnya seperti “Lenong Rumpi”, “Keluarga Van Danoe”, “Be-Lajang”, “Saling Silang”, “Hitam dan Putih”, “Gengsi Gede-Gedean” ataupun “Rocker Geto Loch”, saya mendapati bahwa dirinya menggunakan beragam bahasa gaul yang agak sulit dimengerti orang-orang. Hal ini membuat orang bertanya-tanya tentang apa yang sebenarnya Debby bicarakan.

Karena banyak orang yang penasaran akan apa saja arti dari bahasa gaul yang Debby seringkali bicarakan dalam sinetronnya, maka beliau pun merilis buku Kamus Bahasa Gaul. Hal inilah yang akhirnya menjadi titik tolak bahasa gaul untuk dijadikan alat komunikasi sehari-hari, terutama di kalangan remaja. Alasannya karena bahasa gaul itu mudah, ekspresif dan memiliki gaya tersendiri.

Tahun 2002, bahasa gaul mulai banyak diterapkan di berbagai film remaja Indonesia. Bahasa gaul dianggap memiliki karakter tersendiri yang membedakannya dengan bahasa-bahasa yang lain. Bahasa gaul dapat berupa singkatan, akronim, kosa kata, struktur kalimat, dan intonasi. Selain itu, bahasa gaul (terutama akronim) juga banyak digunakan di SMS (Short Message Service) karena keterbatasan karakter yang bisa diketik dalam SMS.

Adanya fitur SMS juga dapat dikatakan sebagai akar lahirnya bahasa alay yang tidak memperhatikan EYD dan penulisan huruf. Orang-orang dapat dengan bebas membentuk kata yang mereka maksud menggunakan gabungan angka dan huruf yang dapat menyerupai/menggambarkan kata yang dimaksud.

Di tahun 2003-2004, banyak remaja calon penyiar radio atau VJ (video jockey), yang mengembangkan kemampuan berbahasa gaul. Hal ini dikarenakan seorang penyiar/presenter muda harus komunikatif dan dapat menarik banyak pendengar/penonton.Di tahun inilah Indonesia banyak melahirkan presenter-presenter muda yang berbakat.

Di tahun 2005, bahasa gaul menjadi hal menarik untuk diperbincangkan sehingga digelarlah acara diskusi dengan tema “Bahasa Slang, Bahasa Gaul dalam Dinamika Bahasa Indonesia dan Bahasa Asing” di Perpustakaan Departemen Pendidikan Nasional. Di tahun ini juga bahasa gaul semakin banyak digunakan oleh orang-orang karena dianggap “bahasa kota”, sehingga yang tdiak mengikutinya dianggap “ketinggalan zaman”.

Tahun 2006, adalah tahun lahirnya kata “lebay” yang digunakan untuk menyatakan sesuatu yang berelebihan.Kata ini banyak digunakan oleh remaja, diterapkan di film-film dan di beberapa acara reality show.Kata ini banyak dipopulerkan oleh presenter Raffi Ahmad dan Olga Syahputra.

Tahun 2008, akhirnya banyak dari bahasa gaul yang dimasukkan ke dalam kosakata bahasa Indonesia di Kamus Besar Bahasa Indonesia, sehingga kosakata bahasa Indonesia semakin kaya. Selain itu, bahasa gaul juga mulai diterapkan pada lagu-lagu Indonesia. Salah satu pelopornya adalah Dewiq lewat lagunya yang berjudul “Bete” dimana ia berkolaborasi dengan Indra Bekti.

Tahun 2009, bahasa gaul diperkenalkan ke Australia melalui buku yang ditulis oleh pasangan Nick Molodysky dan Karina Santoso. Diketahui mereka pernah menimba ilmu bersama di University Of Sydney, sehingga Nick banyak belajar mengenai bahasa gaul darinya. Terlebih lagi, Nick memang mengambil jurusan Bahasa Indonesia. Di sinilah bahasa gaul Indonesia semakin banyak dikenal, bahkan sampai ke luar negeri.

Di tahun 2010, bahasa gaul banyak digunakan di berbagai sosial media seperti Facebook dan Twitter, seiring dengan munculnya kedua sosial media tersebut. Banyak lahir pula kata-kata gaul yang berupa singkatan-singkatan seperti “BFF (Best Friend Forever)”, “TGIF(Tank God It’s Friday)”, “BTW (By The Way)”, OTW (On The Way), dll. Di tahun ini juga kata “alay” dan “lebay” menjadi lebih populer karena banyak digunakan.Terlebih lagi memang banyak penggunaan bahasa alay di sosial media yang saya sebutkan tadi.

Di tahun 2012-2013, banyak bermunculan kata-kata baru yang semakin menambah lengkap dunia bahasa gaul. Diantaranya ada kata “Loe, Gue, End!” yang menyatakan berakhirnya hubungan diantara kedua orang, “Baryaw (Sabar ya)”, “Metyaw (Selamat ya)”, “PHP (Pemberi Harapan Palsu)”, “Harkos (Harapan Kosong)”, “Nyepik (berbicara, plesetan ‘speak’ ditambah Nye-)”, “Kamseupay (Kampungan Sekali Udik Payah)”, “Gaje (Gak Jelas)”, “Woles (Selow, plesetan ‘slow’)”, “Ucul (Lucu)”, “Unyu (Imut)”, “Prikitiw (bunyi siul jail)”. Semakin bergama sekali perkembangannya, ada yang berupa singkatan, akronim, kebalikan, ekspresi, dll. Dan semuanya digunakan di sosial media dan dalam percakapan sehari-hari pula, sehingga terkadang orang tua yang berada di sekitar remaja yang sedang menggunakan bahasa gaul, tidak mengerti dengan apa yang dibicarakan mereka. Sekilas hampir kembali kepada fungsi di tahun 2001, hanya saja di sini cakupan kelompok yang mengerti dengan yang tidak mengerti bahasa gaul lebih luas, kelompok remaja dan kelompok orang tua. Secara tidak langsung, kelompok remaja menggunakan bahasa yang sulit dimengerti oleh kelompok orang tua.

Di tahun 2014, masih tidak jauh beda dengan tahun sebelumnya, namun seperti biasa semakin bertambah kosakatanya. Diantaranya “Ciyus? Mi Apah (Serius, Demi Apa?)”, “LDR (Long Distance Relationship)” yang menyatakan hubungan jarak jauh, “Hoax (Berita palsu)”, “KEPO (Knowing Every Particular Object)” yang menyatakan seseorang yang ingin tahu segalanya, “Cabe-cabean (perempuan nakal yang senang nongkrong di jalan)”, Terong-terongan (versi laki-laki dari ‘cabe-cabean’)” dan “GWS (Get Well Soon)” yang sama saja artinya dengan “Semoga Lekas Sembuh”. Dan begitulah, bahasa gaul menjadi alat komunikasi remaja namun bukan orang tua.

Penutup
Bahasa gaul terlihat berbeda fungsinya di dari tahun 2001 sampai tahun 2014, namun sebenarnya sama, hanya saja cakupannya lebih luas. Di tahun 2001, bahasa gaul hanya dimengerti oleh kelompok tertentu yang sudah mengembangkannya, tidak terbatas usia tua maupun muda. Di tahun 2014, bahasa gaul memang dijadikan alat komunikasi umum di antara para remaja, sehingga seolah-seolah seluruh orang mengerti. Namun ternyata ada satu kubu yang cukup besar yang tidak mengerti dengan bahasagaul, yaitu golongan orang tua yang kebanyakan tidak mengetahui dan tidak pula mengembangkan ataupun mempelajari bahasa gaul.

Ada sebagian golongan yang kurang menyukai perkembangan bahasa gaul dengan alasan akan mengancam eksistensi bahasa Indonesia itu sendiri. Padahal sebetulnya ada sisi positif dari bahasa gaul. Karena bahasa ini cenderung langsung mengarah kepada inti dan ekspresif, sehingga dapat menggantikan kata-kata lama di bahasa Indonesia sebenarnya sulit untuk mengungkapkan hal yang dimaksud atau kurang mengena pada hal yang dimaksud. Itulah alasan mengapa akhirnya sebagian besar dari bahasa gaul dimasukkan ke dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia tahun 2008.

Dan kepada para remaja saat ini, sebaiknya gunakanlah bahasa gaul berimbang dengan bahasa baku Indonesia. Dengan begitu, penggunaan bahasa gaul tidak akan mengancam eksistensi bahasa Indonesia, karena dengan begitu bahasa baku Indonesia tidak akan terlupakan. Adalah sebuah hal yang baik mengkreasikan/mengembangkan bahasa gaul, mengingat keuntungannya yang telah memberikan banyak kosakata baru di Indonesia, namun tetap saja kita sebagai warga negara Indonesia, sesuai dengan Sumpah Pemuda tahun 1928 yang isinya adalah berbahasa satu bahasa Indonesia. Artinya, mau tidak mau kita harus menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar sebagai bahasa persatuan kita Warga Negara Indonesia.

Selain itu, orang tua juga seharusnya memiliki kemauan untuk mengetahui dan mempelajari bahasa gaul yang sedang marak saat ini. Agar orang tua dapat mengerti dan tidak ada kesenjangan antara golongan remaja dan orang tua.Karena warga negara Indonesia itu mencakup seluruhnya, tidak terkotak-kotak menjadi golongan remaja dan orang tua. Lagi pula, golongan orang tua dapat membantu mengkaji bahasa gaul agar dapat ditambahkan pada kosakata bahasa Indonesia. Orang tua juga dapat membantu membimbing golongan remaja dalam penggunaan bahasa gaul.
Pustaka Acuan
Alwynni, Noval. (2014). “Keluaraga Van Danoe”. [Online]. Tersedia: https://www.youtube.com/user/novalwynni/videos yang diakses pada 29 Desember 2014.
Australia, ABC Radio. (2014). “Bahasa Gaul Indonesia Diperkenalkan ke Australia Lewat Buku”.[Online]. Tersedia: http://www.radioaustralia.net.au/indonesian/2014-09-18/bahasa-gaul-indonesia-diperkenalkan-ke-australia-lewat-buku/1369671 yang diakses pada 1 Januari 2015.
Ernawati, Nuke. (2014). “Media Sosial Gunakan Bahasa Gaul Masa Kini”.[Online]. Tersedia: http://pesisirnews.com/view/Sosial/1370/Media-Sosial-Gunakan-Bahasa-Gaul-Masa-Kini.html yang diakses pada 1 Januari 2015.

Grafura, Lubis. (2006). “Pemakaian Bahasa Gaul dalam Film Renmaja Indonesia”. [Online]. Tersedia: http://lubisgrafura.wordpress.com/2006/09/12/pemakaian-bahasa-gaul-dalam-film-remaja-indonesia/ yang diakses pada 29 Desember 2014.

Muhammad, Atqo. (2010). “Perkembangan Bahasa Gaul di Indonesia”.[Online]. Tersedia: http://atqomohammed.blogspot.com/2010/03/perkembangan-bahasa-gaul-di-indonesia.html yang diakses pada 1 Januari 2015.

Nyunyu.(2012). “Bahasa Gaul Anak Zaman Sekarang”.[Online]. Tersedia: http://www.nyunyu.com/main-article/detail/bahasa-gaul-anak-zaman-sekarang#.VKcov6AYviQ yang diakses pada 3 januari 2015.

Purkon, Ujang. (2014). “Kamus Gaul Terbaru dan terlengkap 2014”.[Online]. Tersedia: http://tutulisanku.blogspot.com/2013/11/kamus-gaul-terbaru-dan-terlengkap-2014.html yang diakses pada 3 Januari 2015.

Putra, Bayu Chandra. (2013). “Bahasa Gaul dari Tahun 80’an Sampai Sekarang”.[Online]. Tersedia: http://bayucp.blogspot.com/2013/10/bahasa-gaul-dari-tahun-80an-sampai.html yang diakses pada 1 Januari 2015.

Saleh, Chairul. (T. Th.). “Bahasa Gaul Gitu Looh...”.[Online]. Tersedia: http://pelitaku.sabda.org/bahasa_gaul_gitu_looh yang diakses pada 1 Januari 2015.

Tn. (2008). “Debby Meluncurkan Buku Kamus Gaul”. [Online]. Tersedia: http://www.citraku.com/hiburan/selebritis/2008/12/5191/Debby-Meluncurkan-Buku-Kamus-Gaul yang diakses pada 29 Desember 2014.

Tn. (2010). “Perkembangan Bahasa Indonesia dari Tahun 2003 Sampai Sekarang”. [Online]. Tersedia: http://41215c4l177.wordpress.com/2010/09/29/perkembangan-bahasa-indonesia-dari-tahun-2003-sampai-sekarang/ yang diakses pada 29 Desember 2014.

Tn. (2013).“Kata Kata Gaul dan Alay Terbaru”.[Online]. Tersedia: http://www.dhecaulza.com/2012/12/kata-kata-gaul-dan-alay-terbaru.html yang diakses pada 3 Januari 2015.

Tn. (2014). “Bahasa gaul”. [Online]. Tersedia: http://id.wikipedia.org/wiki/Bahasa_gaul yang diakses pada 29 Desember 2014.
Tn. (2014). “Bahasa prokem”. [Online]. Tersedia: http://id.wikipedia.org/wiki/Bahasa_prokem yang diakses pada 29 Desember 2014.
Tn. (2014). “Debby Sahertian”. [Online]. Tersedia: http://id.wikipedia.org/wiki/Debby_Sahertian yang diakses pada 29Desember 2014.
Tn. (2014). “Kata pada Bahasa Gaul Terpopuler 2014. [Online]. Tersedia: http://www.arenasahabat.com/2013/10/bahasa-gaul-paling-populer.htmlyang diakses pada 1 Januari 2015.

KEMAMPUAN PEMAHAMAN BAHASA SUNDA BAGI PENUTUR YANG BERASAL DARI LUAR SUNDA - LYA LOVICHA SEMBIRING (1400838)

Nama    : Lya Lovicha Sembiring
Kelas     : 1A1
NIM      : 1400838

KEMAMPUAN PEMAHAMAN BAHASA SUNDA BAGI PENUTUR YANG BERASAL DARI LUAR SUKU SUNDA
Abstrak. Bahasa memiliki peranan yang sangat penting dalam segala bidang. Bahasa Sunda merupakan bahasa salah satu suku yang ada di Indonesia yaitu, Bahasa Ibu di Jawa Barat. Bahasa Sunda itu unik jika dibandingkan dengan bahasa-bahasa daerah lain di Indonesia. Yang perlu dipertanyakan, bagaimana kemampuan pemahaman bahasa Sunda bagi penutur yang berasal dari luar suku Sunda? Apakah sulit untuk memahaminya, karena bahasa Sunda itu sangat banyak jenisnya. Namun, kosa kata bahasa Sunda banyak yang sama dengan kosa kata bahasa suku lain di Indonesia. Oleh sebab itu, sangat bijaksana bagi penutur yang berasal dari luar suku Sunda untuk mempelajari bahasa Sunda yang meliputi sistem nilai, sistem sosial, dan kebudayaan serta implikasinya terhadap pentingnya berkomunikasi di Indonesia.
Kata Kunci: Bahasa Ibu ( Bahasa Sunda), Penutur, Suku lain.

Pendahuluan
K
eragaman suku di Indonesia dapat dilihat sebagai perbedaan budaya yang masing-masing memiliki kelebihan dan kekurangan. Berbicara masalah bahasa, Indonesia merupakan negara yang memiliki keanekaragaman bahasa. Keadaan Indonesia sebagai negara multilingual, multirasial, dan multikultural menyebabkan lebih dari 300 kelompok etnis atau suku bangsa di Indonesia. Atau tepatnya 1.340 suku bangsa menurut sensus Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2010. Oleh karena itu, dari sekian banyak suku bangsa di Indonesia tentunya memiliki banyak keragaman bahasa, misalnya ada bahasa Sunda, Jawa, Batak, Manado, Bali, dan lain sebagainya.
 Indonesia adalah sebuah gambaran masyarakat majemuk yang terdiri dari suku-suku bangsa yang berada di bawah sebuah kekuasaan sebuah sistem nasional, termasuk di dalamnya adalah suku Sunda. Ciri kemajemukan masyarakat Indonesia adalah pentingnya kesukuan yang terwujud dalam sistem komunitas suku bangsa sebagai acuan utama bagi jati diri manusia Indonesia. Kenyataan yang menunjukkan bahwa orang Indonesia yang berbahasa Indonesia pada hakikatnya adalah orang dari suku-suku bangsa yang memiliki karakter jiwa kebudayaan lokalnya yang berbicara dengan bahasa nasional dan bahasa persatuannya.
Secara praktis pemahaman budaya dalam pengajaran bahasa Sunda bagi penutur yang berasal dari luar suku Sunda menekankan pada penggalian metode pengajaran bahasa berdasarkan pola empatik. Pola ini digunakan untuk pemahaman masyarakat majemuk baik secara genetis maupun kultural. Cara yang dilakukan adalah menggabungkan kecerdasan yang berkaitan dengan kemampuan menangkap kata-kata dan kemampuan menyusun kalimat, kemampuan memahami orang lain, kemampuan memahami emosi sendiri, serta kemampuan melukiskan suatu konsep bahasa dalam perspektif (think in picture), sehingga mampu mempersepsi lingkungan, mengekspresikan konsep dalam gambar, coretan serta lukisan. Hal ini sangat diperlukan dalam mengantarkan pemahaman konsep budaya-budaya etnisitas di Indonesia sebelum ke aspek bahasanya.

HAMBATAN KULTURAL DALAM MEMAHAMI BAHASA SUNDA BAGI PENUTUR YANG BERASAL DARI LUAR SUKU SUNDA.
Pertama, Tata nilai (system of values) dari suatu masyarakat dapat juga berpengaruh terhadap bahasanya. Hal yang demikian ini dapat kita lihat lewat fenomena tabu. Tabu mengimplikasikan adanya ‘larangan’. Kata-kata yang mengandung unsur tabu dilarang diucapkan atau dianggap tidak pantas atau tidak baik bila di sembarang tempat. Kata-kata semacam itu bila diucapkan di hadapan orang banyak dikategorikan sebagai hal yang memalukan dan oleh karena itu dilarang.
Faktor yang kedua adalah faktor yang berasal dari pertimbangan komunikasi. Bahasa Sunda digunakan manusia untuk alat komunikasi dalam upayanya berinteraksi dengan sesamanya khususnya di daerah Jawa Barat. Namun, dalam kenyataannya masyarakat tidak bebas sekali dalam penggunaan bahasa Sunda tersebut, karena ada seperangkat peraturan berbahasa yang telah disepakati oleh masyarakat di mana dia hidup dan bergaul dengan anggota-anggota lain sesuai dengan tata-nilai yang menjadi pedoman mereka dalam upayanya berinteraksi dengan sesamanya.
Andaikan saja, ada dua penutur. Penutur pertama memiliki kemampuan dan penguasaan baik dalam bahasa Sunda maupun bahasa Indonesia, demikian juga penutur yang kedua. Pasti kedua penutur ini tidak memiliki persoalan kebahasaan. Tapi jika sebaliknya, penutur yang pertama berasal dari suku Sunda, dan penutur yang kedua berasal dari suku Batak. Keduanya akan merasa kesulitan dalam berkomunikasi satu sama lain. Karena nilai-nilai yang terkandung dalam sistem itu telah tertanam kuat pada diri seorang penutur bahasa (Batak misalnya), maka dapat saja dia terhambat oleh kultur Bataknya ketika dia berbicara dengan orang yang berasal dari suku Sunda. Namun demikian, ‘penyimpangan’ dalam berbahasa itu bukan akibat ketidakmampuan mereka menggunakan bahasa Indonesia, tetapi merupakan akibat dari faktor sosial budaya yang melingkungi penutur-penutur tersebut.
Sistem tindak manusia memiliki empat sistem, yaitu budaya, sosial, kepribadian, dan tingkah laku manusia. Sebagai contoh, dalam suatu interaksi verbal antara dua orang yang dilakukan dalam bahasa Indonesia, tiba-tiba penutur A menyelipkan beberapa buah bahasa Batak dalam tuturannya. Tingkah laku berbahasa ini dapat dinilai berdasarkan sumber-sumber penyebabnya. Masuknya unsur lain ke dalam tuturan A ini dapat disebabkan oleh kebiasaan atau kemudahan pengucapan semata. Di sini,  sistem tingkah laku adalah penyebab masuknya unsur bahasa lain itu dalam tuturan A tersebut. Tetapi, masuknya unsur bahasa lain itu dapat saja disengaja oleh A sebagai upaya untuk memperlihatkan perasaan (sikap, motivasi, pengalaman dan sebagainya) kepada penutur B. Dalam hal ini sistem kepribadian penutur adalah penyebab penggunaan unsur lain dalam tuturan bahasa Indonesia yang disampaikan oleh A tersebut.
Hambatan kultural yang lain dapat dilihat, misalnya dari kasus tindak berbahasa (speech act) yang terjadi antara penutur dari suku Sunda dan Batak. Penutur bahasa Sunda yang tentu saja berlatar belakang bahasa Sunda, artinya dia merupakan dwibahasawan Sunda-Indonesia. Sementara, penutur bahasa Batak yang tentu saja berlatar belakang bahasa Batak, artinya dia merupakan dwibahasawan Batak-Indonesia. Kedua bahasa daerah ini sama-sama memiliki kata bujur. Kata “bujur” dalam bahasa Sunda berarti “bokong” dan harus ditabukan, dalam arti tidak dapat diucapkan di sembarang tempat, misalnya di hadapan orang banyak. Sementara kata bujur dalam konteks bahasa Batak berkonotasi baik yaitu “terima kasih”. Hambatan kultural terjadi bila penutur yang berlatar belakang budaya/bahasa Sunda mendengar atau menggunakan kata bujur, walaupun sekarang dia telah memahami arti kata bujur dalam konsep bahasa Batak, namun tetap saja dia merasa berdosa bila dia mengucapkan kata tersebut karena ini berarti melanggar aturan atau nilai dari kulturnya sendiri.
Bila dikaji dari perbedaan bahasa, tentunya setiap bahasa memiliki persamaan dan perbedaan pada setiap kosa kata yang di miliki oleh masing-masing bahasa. Kita berikan saja contoh perbandingan antara Bahasa Indonesia, Bahasa Sunda, dan Bahasa Jawa.
Perhatikan contoh kalimat berikut ini:
Bahasa Indonesia        : Ibu pergi ke pasar untuk membeli beras dan sayuran.
Bahasa Sunda                         : Ibu mios ka pasar kanggo ngagaleuh béas sareng sareng angeuneun.
Bahasa Jawa                : Ibu menyang peken ajeng tumbas wos lan ombyok.
Dari contoh kalimat di atas, jelas sekali terlihat perbedaan dan persamaan kosa kata antara ketiganya. Perbedaan disini mengacu kepada aspek morfologis, sedangkan persamaannya mengacu pada aspek semantik. Dalam pembentukan kata bahasa Indonesia, bahasa Sunda, dan bahasa Jawa berbeda. Misalnya, pergi dalam Bahasa Indonesia berbeda bentuk ketika menjadi bahasa Sunda (mios) dan bahasa Jawa (menyang). Namun, ketika melihat persamaannya melalui aspek semantik ketiga kata tersebut yakni pergi (bahasa Indonesia), mios (bahasa Sunda) dan menyang (bahasa Jawa) memiliki makna yang sama yaitu meninggalkan. Oleh karena itu, penggunaan bahasa dalam situasi keanekabahasaan atau multilingualisme telah banyak mendapat perhatian dari ahli bahasa.
PERSAMAAN BAHASA SUNDA DENGAN SUKU LAIN
Meskipun bahasa Sunda menyerap begitu banyak kosa kata dari bahasa Melayu, Jawa, Sansakerta, dan Arab tetapi banyak kosa kata yang bukan merupakan serapan dari bahasa Melayu sebagai bahasa yang tersebar cukup luas di regional ini, ataupun bahasa Jawa yang bertetangga secara geografis dengan etnis Sunda. Sebelumnya kita lihat beberapa contoh perbandingan antara bahasa Indonesia (yg merupakan varian dari Melayu), bahasa Jawa, dan Sunda berikut ini :
1. a. Merah (Melayu)
    b. Abang (Jawa)
    c. Beureum (Sunda)
2. a. Tikus (Melayu)
    b. Tikus (Jawa)
    c. Beurit (Sunda)
3. a. Kalau (Melayu)
    b. Menawi/Yen/Nek/Umpama (Jawa)
    c. Lamun (Sunda)
v  Ada beberapa persamaan antara Bahasa Banjar dan Bahasa Sunda :
BANJAR
SUNDA
INDONESIA
Andika
Andika
Kamu
Asa
Asa
Merasa
Nini
Nini
Nenek
Indung
Indung
Ibu
Nginum
Nginum
Minum

v  Ada beberapa persamaan antara Bahasa Karo dan Bahasa Sunda:
KARO
SUNDA
INDONESIA
Rongit
Reungit
Nyamuk
Buk
Bu’uk
Rambut
Tektek
Teukteuk
Potong
Mentas
Meuntas
Lewat
Ula
Ulah
Jangan

Perbandingan dengan bahasa daerah yang lain:
a. Nyamuk (Indonesia)
b. Reungit (Sunda)
c. Rongit (Karo)
d. Ratngit (Madak - Kepulauan Solomon)
e. Rangit (Melayu Brunei)
f. Ringit (Manobo - Filipina)
g. Ro'ongit (Tonsea - Sulawesi Utara)
h. Rengit (Maranao - Filipina)
i. Yongit (Mongondow - Sulawesi Utara)
j. Rengit (Iranun - Sabah)
k. Hongito (Kaidipang - Sulawesi Utara)
l. Longit (Buol - Sulawesi Utara)

Dalam bahasa Sunda ternyata memiliki persamaan dalam bahasa di wilayah Sumatera bagian Utara (Batak, Mandailing, Karo, Aceh), Kalimantan bagian utara        ( termasuk Brunei dan Sabah), Sulawesi Utara, Filipina, Nusa Tenggara (Bima), dan Kepulauan Solomon. Tidak hanya dalam arti nyamuk, tetapi masih banyak lagi bahasa daerah yang memiliki kosa kata dan arti yang sama dengan bahasa Sunda.

Kesimpulan
1.      Tentunya ada banyak kosa kata yang dimiliki oleh masing-masing daerah. Keberagaman tersebut tidak menjadi penghalang untuk kita saling berkomunikasi satu sama lain karena adanya bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional dan bahasa negara yang telah disepakati oleh masyarakat pengguna bahasa Indonesia.
2.      Orang Cilacap yang berbahasa Jawa masih dapat berkomunikasi dengan orang Ciamis yang berbahasa Sunda dengan perantara bahasa Indonesia. Begitu juga dengan orang Karo yang memiliki kesamaan kosa kata dan arti yang sama dengan bahasa Sunda.
3.      Keragaman bahasa di Indonesia mendukung berkembangnya pengembangan bahasa Indonesia dari periode ke periode yang menjadikan bahasa itu dinamis dan tetap terjaga kelestariannya.
4.      Sudah selayaknya kita sebagai warga negara Indonesia merasa bangga dengan keberagaman ratusan bahkan mungkin ribuan bahasa daerah yang dimiliki oleh negeri ini. Apapun Suku dan Bahasanya, kita semua tetap Indonesia.

Pustaka Rujukan

Alwasilah, Chaedar. 2011. Linguistik Suatu Pengantar. Bandung: Angkasa. http://id.wikipedia.org/wiki/Suku_bangsa_di_Indonesia
Pateda, Mansoer. 1988. Linguistik Sebuah Pengantar. Bandung: Angkasa.
Roeder, O.G. 1987. Indonesia. A Personal Introduction. Jakarta : Gramedia.
Sudaryat, Yayat dan O. Solehudin. 2009. Psikolinguistik. Bandung: JPBD UPI.
Tim Lembaga Riset Kebudayaan. 1986. Kapita Selekta Manifestasi Budaya Indonesia. Bandung:     
           Alumni.