Pengunaan
Kata “Anjing” dalam Komunikasi Sehari-Hari Masyarakat Sunda
Aris Andika Yudistira
(1406971)
Bahasa dan Sastra
Inggris
ABSTRAK
Masyarakat sunda dikenal sebagai
masyarakat yang ramah dan sopan. Hal ini terdapat di segala aspek kehidupan,
mulai dari adat, tingkah laku, hingga tata cara berbahasa. Kepribadian yang
seperti itu di bentuk oleh alam di jawa barat yang asri, tentram, dan memiliki
tanah yang subur. Dalam segi berbahasa, budaya sunda memiliki aturan yang
disebut sebagai undak usuk basa sunda,
di dalamnya terdapat tata cara berbahasa khususnya pemilihan kata yang tepat
tergantung kepada siapa berbicara. Aturan ini bersinergi dengan kepribadian
masyarakat sunda yang ramah dan sopan, dengan adanya aturan ini penutur bahasa
sunda tidak perlu khawatir akan menyinggung perasaan lawan bicara, karena semua
sudah ada aturannya. Namun beberapa tahun ke belakang, ada fenomena bahasa, yaitu
kata “Anjing”.Penutur bahasa sunda seringkali menyelipkan kata “Anjing” di setiap kalimat. Tidak hanya berfungsi
sebagai kata sumpah serapah yang bertujuan untuk mengintimidasi lawan bicara,
dengan menyamakan lawan bicara dengan hewan anjing, tetapi juga kata “Anjing”
ini juga digunakan sebagai kata sisipan, fungsinya hampir seperti tanda koma
(,) kata “Anjing” terucap dengan tidak sengaja sebelum jeda antar kalimat. Para
penutur kata “Anjing” ini sadar bahwa kata yang diucapkannya merupakan kata
yang kasar, yang bagaimanapun juga berkemungkinan dapat menciptakan konflik
horizontal. Namun, karena masyarakat sunda memiliki kepribadian yang ramah,
maka kata “Anjing” ini tidak terlalu bermasalah, terlebih lagi penutur kata ini
sudah dapat memilih situasi dimana baiknya mengucapkan kata “Anjing” tersebut,
dapat diketahui karena penutur hanya mengucapkan kata “Anjing” kepada orang
sebaya saja.
Kata kunci: Anjing,
Bahasa Sunda, Etika.
PENDAHULUAN
Dalam
tatanan bahasa sunda, atau yang dikenal sebagai undak usuk basa sunda terdapat banyak aturan tentang tata cara
berbahasa sunda yang baik dan benar. Salah satu aturan tersebut adalah adanya
hiraki dalam berkomunikasi.Penutur bahasa sunda tidak dapat bercakap semaunya,
ada perbedaan kata untuk kepada siapa penutur berbicara.Terdapat tiga tingkatan
berbahasa, yaitu basa kasar, basa loma, dan
basa lemes.Penjelasan yang lebih
mudah ialah, pertama untuk orang yang lebih tua, kedua untuk orang yang lebih
muda, dan terakhir untuk orang sebaya.Kepada yang lebih tua, penutur diharuskan
berbicara sopan dengan penggunaan kosakata yang berbeda pula.Kepada yang lebih
muda pun begitu, untuk dijadikan teladan yang baik.Untuk orang sebaya, tidak
terlalu diharuskan seperti kedua lainnya, bahkan seringkali penutur yang sebaya
menggunakan bahasa kasar.
Dikarenakan
penutur sebaya sudah terbiasa menggunakan bahasa kasar, lalu munculah sebuah
fenomena bahasa yang seharusnya kasar namun sekarang mulai terdengar wajar,
bahkan hal ini sudah menjadi ikon dalam bahasa sunda, khususnya di
Bandung.Fenomena itu adalah kata “Anjing”. Kata ini dapat didengar di setiap
sudut kota. Tidak hanya remaja, orang tua bahkan anak-anak menggunakan kata
ini.Mereka menyisipkan kata “Anjing” ini di setiap kalimat yeng ducapkan.Tidak
ada patokan jelas kapan kata ini digunakan, karena dalam segala keadaan dan
emosi, penutur dapat mengucapkannya.
BAHAN DAN METODE
Dalam
melaksanakan penelitian mengenai fenomena diatas, peneliti menggunakan angket
sebagai alat pengumpul data.Angket disebar kepada sepuluh sampel yeng merupakan
mahasiswa Universitas Pendidikan Indonesia, karena dirasa kata “Anjing” banyak
dikatakan oleh para mahasiswa dalam komunikasi sehari-harinya.
Angket
tersebut berisi tiga buah pertanyaan, yang isinya adalah :
1. Apakah
anda mengucapkan kata “Anjing” secara sengaja?
2. Apakah
anda mengucapkan kata “Aning” hanya kepada orang sebaya?
3. Apakah
menurut anda kata “Anjing” adalah merupakan kata kasar
Pertanyaan
hanya membutuhkan jawaban ya atau tidak.
Selain
mengumpulkan data melalui penyebaran angket, peneliti juga melakukan observasi
lapangan, dengan tujuan mengumpulkan contoh nyata penggunaan kata “Anjing” di
masyarakat.Observasi dilakukan di lingkungan kampus Universitas Pendidikan
Indonesia.
HASIL
Apakah
anda mengucapkan kata “Anjing” dengan sengaja?
|
Apakah
anda mengucapkan kata “Anjing” hanya kepada orang sebaya?
|
Apakah
menurut anda kata “Anjing” adalah merupakan kata kasar?
|
||||
Ya
|
Tidak
|
Ya
|
Tidak
|
Ya
|
Tidak
|
|
Sampel
1
|
V
|
V
|
V
|
|||
Sampel
2
|
V
|
V
|
V
|
|||
Sampel
3
|
V
|
V
|
V
|
|||
Sampel
4
|
V
|
V
|
V
|
|||
Sampel
5
|
V
|
V
|
V
|
|||
Sampel
6
|
V
|
V
|
V
|
|||
Sampel
7
|
V
|
V
|
V
|
|||
Sampel
8
|
V
|
V
|
V
|
|||
Sampel
9
|
V
|
V
|
V
|
|||
Sampel
10
|
V
|
V
|
V
|
Berdasarkan
hasil yang didapat dari angket, dapat diketahui 7 dari 10 sampel
berpendapat bahwa kata “Anjing” diucapkan secara tidak sengaja, dan 3 dari 10 berpendapat sebaliknya, kata “Anjing” diucapkan secara sengaja.
Lalu 10 dari 10 sampel berpendapat, kata “Anjing” diucapkan hanya kepada orang
sebaya saja.Kemudian, 10 dari10 sampel berpendapat jika kata
“Anjing” adalah kata kasar.
Adapun
hasil dari observasi, peneliti mendapat 5 contoh kalimat yang terdapat kata
“Anjing”, hasilnya sebagai berikut :
1. “Jadi,
puisi ini teh anjing, menceritakan tentang…”
2. “Eucreug
atuh ai sia, anjing!”
3. “Anjing,
jam sakieu anyar datang siamah!”
4. “Teuing
anjing, ngeusian naon anjing tadi kuis teh”
5. “Anjiiiing,
edan pisan maneh euy”
PEMBAHASAN
Penggunaan kata “Anjing” dalam kalimat
Bahasa merupakan alat komunikasi
yang digunakan untuk berinteraksi dan melaksanakan fungsi sosial di kehidupan
sehari-hari.Seperti yang dinyatakan, “Language is a system of arbitraryvocal
symbols used for human communication.” Bahasa merupakansistem simbol yang
arbitrer yang digunakan dalam komunikasi manusia(Wardhaugh, 1977:3) Dalam
berkomunikasi, pemilihan kata sangatlah penting guna menjaga hubungan dengan
sesama manusia, karena jika salah dalam memilih kata bisa saja terjadi konflik.
Untuk itu lah dalam bahasa sunda terdapat aturan dalam pemilihan kata yang
disebut undak usuk basa sunda.Aturan
ini dapat mengurangi kemungkinan terjadi kesalahan pemilihan kata, karena memang
sudah diatur didalamnyapemilihan kata terhadap lawan bicara.Untuk berkomunikasi
terhadap orang sebaya, penutur boleh saja menggunakan bahasa yang tidak sesopan
yang digunakan saat berbicara dengan orang tua.Dengan adanya ketentuan itu,
muncullah fenomena kata “Anjing” di masyarakat sunda, khususnya masyarakat
sunda di Bandung.
Fenomena kata “Anjing” ini sudah
semakin menggila beberapa tahun ke
belakang ini.Berdasarkan hasil penyebaran angket, dari pertanyaan
pertama.“Apakah anda mengucapkan kata “Anjing” dengan sengaja?” didapat hasil 7 dari 10 sampel mengatakan kata ánjing terucap dengan tidak sengaja.
Dengan kata lain, kata anjing sudah tertanam pada penutur dan akan keluar
secara otomatis.
Dalam contoh kalimat (2) dan (3)
kata “Anjing” disana merupakan bentuk pelepasan emosi penutur terhadap lawan
bicaranya, dan lawan kata “Anjing” disana berfungsi sebagai kata sumpah serapah
karena menyetarakan lawan bicaranya dengan anjing.Kata “Anjing” pada contoh
kalimat (2) dan (3) pula disebut vokasi.MenurutKridalaksana vokasi adalah
kalimat minor bukan klausa berupa nama,gelar, atau pangkat orang yang
dipanggil, benda yang dibawa, sepertiWati! Becak! Anjing! (1993:153), pendapat
lain mengatakan Vokasi adalah unsur tambahan atau satelit dalam kalimat,
berupakata atau frase nomina yang menunjukkan pada prang yang diajakberbicara
(penyimak) (Sudaryat,dkk., 2007:152). Berdasarkan hal itu, kata “Anjing” pada
kalimat (2) dan (3) adalah kata yang menunjukan pada orang yang diajak
berbicara (penyimak).
Kata “Anjing” pada kalimat (2) dan
(3) merupakan vokasi.Sejalan dengan hasil penyebaran angket pada pertanyaan 1
“Apakah anda mengucapkan kata “Anjing” dengan sengaja?”3 dari 10 sampel
berpendapat mengucapkan kata “Anjing” dengan sengaja, hal tersebut timbul
ketika penutur memiliki perasaan marah terhadap lawan bicara, lalu munculah
kata “Anjing” yang merupakan kata sumpah serapah yang bertujuan menyetarakan
lawan bicara dengan hewan anjing.
Pada kalimat (1), (4), dan (5) kata
“Anjing” disana bukan merupakan vokasi, karena tidak menunjukan pada lawan
bicara. Kata “Anjing” pada kalimat (1), (4), dan (5) jika diubah menjadi tanda
koma (,) tidak akan mengubah esensi kalimatnya sendiri. Sejalan dengan hasil
penyebaran angket dengan pertanyaan 1, 7
dari 10 sampel berpendapat bahwa
kata “Anjing” terucap dengan sendirinya. Hal ini menunjukan kata “Anjing”
adalah sudah menjadi kebiasaan penutur dan akan terucap dengan tanpa kendali
kesadaran.
Kata
anjing dalam etika berbahasa bahasa sunda
Masyarakat sunda dikenal dengan
kesopanan dan keramah-tamahannya, teristimewa pada sunda priangan yang terdapat
di daerah pegunungan.Suasana alam yang tentram dan subur membentuk kepribadian
yang ramah.Sejalan dengan itu, Suryala (2003:54) mengemukakan tentang asal kata
sunda yang berhubungan dengan kepribadian masyarakatnya.
Kata Sunda
asalnya dari bahasa Sansakerta yang akar katanya ’sund’ berarti ’bercahaya
terang benderang;dari bahasa Kawi ’Sunda’berarti’air’;
dari bahasa Jawa ’Sunda” berarti ’tersusun, merangkap,
menyatu’;dari bahasa Sunda, Sunda berarti ’indah,
molek’
Masyarakat
sunda pula memiliki pedoman hidup yang berbunyi “silih asuh, silih asih, silih
asah”Pedoman ini mengajarkan manusia untuk saling mengasuh dengan landasan saling mengasihi dan salingberbagi pengetahuan dan pengalaman.
Dari
hasil penyebaran angket, pada pertanyaan 2, “apakah anda menggunakan kata
“Anjing” hanya kepada orang sebaya?” didapat bahwa penutur masih mengikuti
peraturan yang terdapat pada undak usuk
basa sunda
Sebagai masyarakat sunda yang
terkenal keramah-tamahannya, para penutur kata “Anjing” juga sadar akan bahasa
yang digunakannya. Terlihat di hasil penyebaran angket pada pertanyaan 3, “Apakah
menurut anda kata “Anjing” adalah merupakan kata kasar?”, dan hasilnya 10 dari 10 sampel berpendapat bahwa
kata “Anjing” adalah merupakan kata kasar. Hal ini merupakan sebuah kesalahan
dimana ketika terjadi pewajaran terhadap sesuatu yang salah dan pelakunya pun
sadar akan keasalahannya.
KESIMPULAN
Citra masyarakat sunda yang dikenal
sebagai masyarakat yang ramah, tidak terpengaruh oleh fenomena kata “Anjing”
yang sudah menjadi kebiasaan ini. Walaupun
hasil dari penyebaran angket pada pertanyaan 3, “ Apakah menurut anda kata
“Anjing” adalah merupakan kata kasar?” Dan hasilnya ialah 10 dari 10 sampel
berpendapat bahwa kata “Anjing” adalah kata kasar.Namun berdasarkan pembahasan
sebelumnya, mayoritas kata anjing yang diucapkan bukan merupakan vokasi yang
menunjukan pada lawan bicara, melainkan hanya sebuah kata sisipan ditengah
kalimat yang tidak menunjukan sebuah gejala emosi, ataupun menyamakan lawan
bicara dengan anjing.Lebih jauh lagi, masih sependapat dengan undak usuk basa sunda, yaitu mengucapkan
kata anjing hanya kepada orang sebaya, tidak melanggar etika berbahasa.
DAFTAR PUSTAKA
BAPPEDA Provinsi Jawa Barat.(2011). “Sosial
Budaya Masyarakat Jawa Barat”.[PDF]. Tersedia: http://kemahasiswaan.itb.ac.id. [20 Desember 2014]
Herdhiani, Ridha.(2011). “Vokasi Sebagai Kekuatan
Berbahasa Dalam Kajian Pragmatik”.Jurnal Pragmalinguistik dan
Sosiopragmatik.1-12. [PDF]. Tersedia: http://jurnal.upi.edu/sonagar/view/1587/vokatif-sebagai-kekuatan-berbahasa-dalam--kajian-pragmatik--pragmalinguistik-dan-sosiopragmatik-.html. [6 Desember 2014]
Nurjanah, Nunuy. “Cara Mendidik Anak Dalam
Perspektif Kasundaan”. 1-32. [PDF]. Tersedia: http://file.upi.edu/Direktori/FPBS/JUR._PEND._BAHASA_DAERAH. [6 Desember 2014]
Setiawan, Hawe. “Etika Sunda”. 1-6. [PDF].
Tersedia: http://file.upi.edu/Direktori/FPBS/JUR._PEND._BAHASA_DAERAH.. [6 Desember 2014]
punteun, saya mahasiswa dkv 2012 telkom university kebetulan lagi ngangkat PRA Tugas Akhir tentang lokalitas kata "anjing" di kota Bandung, kalo boleh bertanya lebih lanjut boleh ga ?
BalasHapussebelumnya isi blognya bermanfaat banget buat saya, jadi saya pengen nanya2 lagi ttg isi blog ini.
makasih :)
kalo bisa, ini kontak saya : 082290358511