Selasa, 06 Januari 2015

KEMAMPUAN PEMAHAMAN BAHASA SUNDA BAGI PENUTUR YANG BERASAL DARI LUAR SUNDA - LYA LOVICHA SEMBIRING (1400838)

Nama    : Lya Lovicha Sembiring
Kelas     : 1A1
NIM      : 1400838

KEMAMPUAN PEMAHAMAN BAHASA SUNDA BAGI PENUTUR YANG BERASAL DARI LUAR SUKU SUNDA
Abstrak. Bahasa memiliki peranan yang sangat penting dalam segala bidang. Bahasa Sunda merupakan bahasa salah satu suku yang ada di Indonesia yaitu, Bahasa Ibu di Jawa Barat. Bahasa Sunda itu unik jika dibandingkan dengan bahasa-bahasa daerah lain di Indonesia. Yang perlu dipertanyakan, bagaimana kemampuan pemahaman bahasa Sunda bagi penutur yang berasal dari luar suku Sunda? Apakah sulit untuk memahaminya, karena bahasa Sunda itu sangat banyak jenisnya. Namun, kosa kata bahasa Sunda banyak yang sama dengan kosa kata bahasa suku lain di Indonesia. Oleh sebab itu, sangat bijaksana bagi penutur yang berasal dari luar suku Sunda untuk mempelajari bahasa Sunda yang meliputi sistem nilai, sistem sosial, dan kebudayaan serta implikasinya terhadap pentingnya berkomunikasi di Indonesia.
Kata Kunci: Bahasa Ibu ( Bahasa Sunda), Penutur, Suku lain.

Pendahuluan
K
eragaman suku di Indonesia dapat dilihat sebagai perbedaan budaya yang masing-masing memiliki kelebihan dan kekurangan. Berbicara masalah bahasa, Indonesia merupakan negara yang memiliki keanekaragaman bahasa. Keadaan Indonesia sebagai negara multilingual, multirasial, dan multikultural menyebabkan lebih dari 300 kelompok etnis atau suku bangsa di Indonesia. Atau tepatnya 1.340 suku bangsa menurut sensus Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2010. Oleh karena itu, dari sekian banyak suku bangsa di Indonesia tentunya memiliki banyak keragaman bahasa, misalnya ada bahasa Sunda, Jawa, Batak, Manado, Bali, dan lain sebagainya.
 Indonesia adalah sebuah gambaran masyarakat majemuk yang terdiri dari suku-suku bangsa yang berada di bawah sebuah kekuasaan sebuah sistem nasional, termasuk di dalamnya adalah suku Sunda. Ciri kemajemukan masyarakat Indonesia adalah pentingnya kesukuan yang terwujud dalam sistem komunitas suku bangsa sebagai acuan utama bagi jati diri manusia Indonesia. Kenyataan yang menunjukkan bahwa orang Indonesia yang berbahasa Indonesia pada hakikatnya adalah orang dari suku-suku bangsa yang memiliki karakter jiwa kebudayaan lokalnya yang berbicara dengan bahasa nasional dan bahasa persatuannya.
Secara praktis pemahaman budaya dalam pengajaran bahasa Sunda bagi penutur yang berasal dari luar suku Sunda menekankan pada penggalian metode pengajaran bahasa berdasarkan pola empatik. Pola ini digunakan untuk pemahaman masyarakat majemuk baik secara genetis maupun kultural. Cara yang dilakukan adalah menggabungkan kecerdasan yang berkaitan dengan kemampuan menangkap kata-kata dan kemampuan menyusun kalimat, kemampuan memahami orang lain, kemampuan memahami emosi sendiri, serta kemampuan melukiskan suatu konsep bahasa dalam perspektif (think in picture), sehingga mampu mempersepsi lingkungan, mengekspresikan konsep dalam gambar, coretan serta lukisan. Hal ini sangat diperlukan dalam mengantarkan pemahaman konsep budaya-budaya etnisitas di Indonesia sebelum ke aspek bahasanya.

HAMBATAN KULTURAL DALAM MEMAHAMI BAHASA SUNDA BAGI PENUTUR YANG BERASAL DARI LUAR SUKU SUNDA.
Pertama, Tata nilai (system of values) dari suatu masyarakat dapat juga berpengaruh terhadap bahasanya. Hal yang demikian ini dapat kita lihat lewat fenomena tabu. Tabu mengimplikasikan adanya ‘larangan’. Kata-kata yang mengandung unsur tabu dilarang diucapkan atau dianggap tidak pantas atau tidak baik bila di sembarang tempat. Kata-kata semacam itu bila diucapkan di hadapan orang banyak dikategorikan sebagai hal yang memalukan dan oleh karena itu dilarang.
Faktor yang kedua adalah faktor yang berasal dari pertimbangan komunikasi. Bahasa Sunda digunakan manusia untuk alat komunikasi dalam upayanya berinteraksi dengan sesamanya khususnya di daerah Jawa Barat. Namun, dalam kenyataannya masyarakat tidak bebas sekali dalam penggunaan bahasa Sunda tersebut, karena ada seperangkat peraturan berbahasa yang telah disepakati oleh masyarakat di mana dia hidup dan bergaul dengan anggota-anggota lain sesuai dengan tata-nilai yang menjadi pedoman mereka dalam upayanya berinteraksi dengan sesamanya.
Andaikan saja, ada dua penutur. Penutur pertama memiliki kemampuan dan penguasaan baik dalam bahasa Sunda maupun bahasa Indonesia, demikian juga penutur yang kedua. Pasti kedua penutur ini tidak memiliki persoalan kebahasaan. Tapi jika sebaliknya, penutur yang pertama berasal dari suku Sunda, dan penutur yang kedua berasal dari suku Batak. Keduanya akan merasa kesulitan dalam berkomunikasi satu sama lain. Karena nilai-nilai yang terkandung dalam sistem itu telah tertanam kuat pada diri seorang penutur bahasa (Batak misalnya), maka dapat saja dia terhambat oleh kultur Bataknya ketika dia berbicara dengan orang yang berasal dari suku Sunda. Namun demikian, ‘penyimpangan’ dalam berbahasa itu bukan akibat ketidakmampuan mereka menggunakan bahasa Indonesia, tetapi merupakan akibat dari faktor sosial budaya yang melingkungi penutur-penutur tersebut.
Sistem tindak manusia memiliki empat sistem, yaitu budaya, sosial, kepribadian, dan tingkah laku manusia. Sebagai contoh, dalam suatu interaksi verbal antara dua orang yang dilakukan dalam bahasa Indonesia, tiba-tiba penutur A menyelipkan beberapa buah bahasa Batak dalam tuturannya. Tingkah laku berbahasa ini dapat dinilai berdasarkan sumber-sumber penyebabnya. Masuknya unsur lain ke dalam tuturan A ini dapat disebabkan oleh kebiasaan atau kemudahan pengucapan semata. Di sini,  sistem tingkah laku adalah penyebab masuknya unsur bahasa lain itu dalam tuturan A tersebut. Tetapi, masuknya unsur bahasa lain itu dapat saja disengaja oleh A sebagai upaya untuk memperlihatkan perasaan (sikap, motivasi, pengalaman dan sebagainya) kepada penutur B. Dalam hal ini sistem kepribadian penutur adalah penyebab penggunaan unsur lain dalam tuturan bahasa Indonesia yang disampaikan oleh A tersebut.
Hambatan kultural yang lain dapat dilihat, misalnya dari kasus tindak berbahasa (speech act) yang terjadi antara penutur dari suku Sunda dan Batak. Penutur bahasa Sunda yang tentu saja berlatar belakang bahasa Sunda, artinya dia merupakan dwibahasawan Sunda-Indonesia. Sementara, penutur bahasa Batak yang tentu saja berlatar belakang bahasa Batak, artinya dia merupakan dwibahasawan Batak-Indonesia. Kedua bahasa daerah ini sama-sama memiliki kata bujur. Kata “bujur” dalam bahasa Sunda berarti “bokong” dan harus ditabukan, dalam arti tidak dapat diucapkan di sembarang tempat, misalnya di hadapan orang banyak. Sementara kata bujur dalam konteks bahasa Batak berkonotasi baik yaitu “terima kasih”. Hambatan kultural terjadi bila penutur yang berlatar belakang budaya/bahasa Sunda mendengar atau menggunakan kata bujur, walaupun sekarang dia telah memahami arti kata bujur dalam konsep bahasa Batak, namun tetap saja dia merasa berdosa bila dia mengucapkan kata tersebut karena ini berarti melanggar aturan atau nilai dari kulturnya sendiri.
Bila dikaji dari perbedaan bahasa, tentunya setiap bahasa memiliki persamaan dan perbedaan pada setiap kosa kata yang di miliki oleh masing-masing bahasa. Kita berikan saja contoh perbandingan antara Bahasa Indonesia, Bahasa Sunda, dan Bahasa Jawa.
Perhatikan contoh kalimat berikut ini:
Bahasa Indonesia        : Ibu pergi ke pasar untuk membeli beras dan sayuran.
Bahasa Sunda                         : Ibu mios ka pasar kanggo ngagaleuh béas sareng sareng angeuneun.
Bahasa Jawa                : Ibu menyang peken ajeng tumbas wos lan ombyok.
Dari contoh kalimat di atas, jelas sekali terlihat perbedaan dan persamaan kosa kata antara ketiganya. Perbedaan disini mengacu kepada aspek morfologis, sedangkan persamaannya mengacu pada aspek semantik. Dalam pembentukan kata bahasa Indonesia, bahasa Sunda, dan bahasa Jawa berbeda. Misalnya, pergi dalam Bahasa Indonesia berbeda bentuk ketika menjadi bahasa Sunda (mios) dan bahasa Jawa (menyang). Namun, ketika melihat persamaannya melalui aspek semantik ketiga kata tersebut yakni pergi (bahasa Indonesia), mios (bahasa Sunda) dan menyang (bahasa Jawa) memiliki makna yang sama yaitu meninggalkan. Oleh karena itu, penggunaan bahasa dalam situasi keanekabahasaan atau multilingualisme telah banyak mendapat perhatian dari ahli bahasa.
PERSAMAAN BAHASA SUNDA DENGAN SUKU LAIN
Meskipun bahasa Sunda menyerap begitu banyak kosa kata dari bahasa Melayu, Jawa, Sansakerta, dan Arab tetapi banyak kosa kata yang bukan merupakan serapan dari bahasa Melayu sebagai bahasa yang tersebar cukup luas di regional ini, ataupun bahasa Jawa yang bertetangga secara geografis dengan etnis Sunda. Sebelumnya kita lihat beberapa contoh perbandingan antara bahasa Indonesia (yg merupakan varian dari Melayu), bahasa Jawa, dan Sunda berikut ini :
1. a. Merah (Melayu)
    b. Abang (Jawa)
    c. Beureum (Sunda)
2. a. Tikus (Melayu)
    b. Tikus (Jawa)
    c. Beurit (Sunda)
3. a. Kalau (Melayu)
    b. Menawi/Yen/Nek/Umpama (Jawa)
    c. Lamun (Sunda)
v  Ada beberapa persamaan antara Bahasa Banjar dan Bahasa Sunda :
BANJAR
SUNDA
INDONESIA
Andika
Andika
Kamu
Asa
Asa
Merasa
Nini
Nini
Nenek
Indung
Indung
Ibu
Nginum
Nginum
Minum

v  Ada beberapa persamaan antara Bahasa Karo dan Bahasa Sunda:
KARO
SUNDA
INDONESIA
Rongit
Reungit
Nyamuk
Buk
Bu’uk
Rambut
Tektek
Teukteuk
Potong
Mentas
Meuntas
Lewat
Ula
Ulah
Jangan

Perbandingan dengan bahasa daerah yang lain:
a. Nyamuk (Indonesia)
b. Reungit (Sunda)
c. Rongit (Karo)
d. Ratngit (Madak - Kepulauan Solomon)
e. Rangit (Melayu Brunei)
f. Ringit (Manobo - Filipina)
g. Ro'ongit (Tonsea - Sulawesi Utara)
h. Rengit (Maranao - Filipina)
i. Yongit (Mongondow - Sulawesi Utara)
j. Rengit (Iranun - Sabah)
k. Hongito (Kaidipang - Sulawesi Utara)
l. Longit (Buol - Sulawesi Utara)

Dalam bahasa Sunda ternyata memiliki persamaan dalam bahasa di wilayah Sumatera bagian Utara (Batak, Mandailing, Karo, Aceh), Kalimantan bagian utara        ( termasuk Brunei dan Sabah), Sulawesi Utara, Filipina, Nusa Tenggara (Bima), dan Kepulauan Solomon. Tidak hanya dalam arti nyamuk, tetapi masih banyak lagi bahasa daerah yang memiliki kosa kata dan arti yang sama dengan bahasa Sunda.

Kesimpulan
1.      Tentunya ada banyak kosa kata yang dimiliki oleh masing-masing daerah. Keberagaman tersebut tidak menjadi penghalang untuk kita saling berkomunikasi satu sama lain karena adanya bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional dan bahasa negara yang telah disepakati oleh masyarakat pengguna bahasa Indonesia.
2.      Orang Cilacap yang berbahasa Jawa masih dapat berkomunikasi dengan orang Ciamis yang berbahasa Sunda dengan perantara bahasa Indonesia. Begitu juga dengan orang Karo yang memiliki kesamaan kosa kata dan arti yang sama dengan bahasa Sunda.
3.      Keragaman bahasa di Indonesia mendukung berkembangnya pengembangan bahasa Indonesia dari periode ke periode yang menjadikan bahasa itu dinamis dan tetap terjaga kelestariannya.
4.      Sudah selayaknya kita sebagai warga negara Indonesia merasa bangga dengan keberagaman ratusan bahkan mungkin ribuan bahasa daerah yang dimiliki oleh negeri ini. Apapun Suku dan Bahasanya, kita semua tetap Indonesia.

Pustaka Rujukan

Alwasilah, Chaedar. 2011. Linguistik Suatu Pengantar. Bandung: Angkasa. http://id.wikipedia.org/wiki/Suku_bangsa_di_Indonesia
Pateda, Mansoer. 1988. Linguistik Sebuah Pengantar. Bandung: Angkasa.
Roeder, O.G. 1987. Indonesia. A Personal Introduction. Jakarta : Gramedia.
Sudaryat, Yayat dan O. Solehudin. 2009. Psikolinguistik. Bandung: JPBD UPI.
Tim Lembaga Riset Kebudayaan. 1986. Kapita Selekta Manifestasi Budaya Indonesia. Bandung:     
           Alumni.

1 komentar: